Rabu, 21 November 2007

kota meteor jatinangor

”Kota Meteor” itu Bernama Jatinangor
Oleh DJASEPUDIN


"KURANGI Kecepatan, Memasuki Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor". Begitu bunyi rambu yang tertera di sekira 750 meter dari tugu perbatasan--antara Kabupaten Sumedang dengan Kabupaten Bandung. Yaitu selepas keluar dari pintu tol Purbaleunyi, tepatnya di Kampung Bojongeureun, Desa Cibeusi Kecamatan Jatinangor. Rambu itu pula yang tertera di bagian timur kawasan Jatinangor, tepatnya di dekat sungai Cikuda, di Desa Hegarmanah.
Kawasan Pendidikan, apa iya? Apa penanda yang mendukungnya? Apa hanya cukup dengan telah berdirinya empat perguruan tinggi--yang dibangun di bekas perkebunan karet "warisan" Barod Baud--pemilik dan pendiri Cultuur Ondernemingen Van Maatschapaij Baud yang dibangun pada tahun 1841. Empat perguruan tinggi itu adalah Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin), Universitas Winaya Mukti (Unwim), dan Universitas Padjadjaran (Unpad).
Kampus IPDN dan Ikopin letaknya di bibir Jalan Raya Bandung-Sumedang. Oleh karenanya bisa disawang dengan jelas dari dalam kendaraan kala Anda melintas ke kawasan yang terkenal dengan kerajinan tangannya, yaitu home industry yang berada di seberang kedua kampus tersebut, di Desa Cipacing dan Cibeusi.
Kompleks Unwim dan Unpad terletak agak menjorok. Bila disawang atau diamati dari jalan raya, kompleks kedua perguruan tinggi itu terhalangi oleh deretan kos-kosan atau pondokan mahasiswa, warung makan, kantor Dinas Pendidikan, kantor polisi, jasa pencucian pakaian, fotokopi, warung telekomunikasi, warung Internet, rental komputer dan jasa pengetikan, toko buku/komik, serta usaha lain yang galib berada di sabudeureun perguruan tinggi. Semua bangunan itu didirikan di atas bekas rel kereta api, milik Perumka--yang hingga kini menuai masalah--seiring semakin kencangnya rencana dan wacana pelebaran jalan.
Tak berbeda dengan deretan bangunan yang berada di muka dua kampus itu, di seberang jalannya pun nyampak pemandangan yang serupa. Malah mah lebih kompleks dan terkesan semrawut. Maka tak aneh, lebih-lebih dalam jam-jam kerja--sepanjang kawasan Jatinangor kerap terlihat macet. Bukan hanya macet, tetapi beragam pelanggaran mindeng diperlihatkan oleh seluruh pengguna jalan.
Adapun fungsi jembatan penyeberangan yang berdiri megah tepat di mulut gerbang Unpad dan di depan pos polisi, tampaknya hanya berguna atau menguntungkan pemerintahan setempat. Sedangkan fungsi utamanya nyaris hilang sama sekali. Karena pemandangan yang terlihat di atas jembatan bukannya lalu lalang para pejalan kaki, melainkan hanya sebentang reklame super besar dari sebuah produk perusahaan.
Jatinangor baheula dengan Jatinangor ayeuna jelas berbeda. Perkembangan pembangunan Jatinangor itu ibarat sebuah meteor yang melesat cepat. Tetapi pembangunan yang tampak saat ini hanya terasa dalam bentuk fisik.
Perkembangan Jatinangor mulai bergeliat ketika daerah itu dijadikan kawasan pendidikan tinggi dan ditetapkan tahun 1987 oleh Gubernur Jawa Barat. Dasar perubahannya bersumber pada Surat Keputusan Gubernur Jabar Nomor 593/3590/1987.
Secara administratif kawasan atau Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang itu meliputi 12 desa, yaitu Desa Sayang, Cikeruh, Cibeusi, Cipacing, Mekargalih, Hegarmanah, Cilayung, Cileles, Jatiroke, Jatimukti, Cisempur, dan Desa Cinta Mulya. Selain di Kecamatan Jatinangor--yang turut membentuk kawasan Jatinangor adalah Desa Cileunyi Kulon dan Cileunyi Wetan yang masuk ke wilayah Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung. Tetapi secara kultural Jatinangor pun meliputi beberapa kampung di Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan Cimanggung yang masuk ke dalam Kabupaten Sumedang--serta beberapa desa di Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung.
Seiring perkembangan zaman--masalah yang muncuat di Jatinangor tak hanya dalam bentuk kasat mata seperti jalan yang kerap macet, tata ruang kota yang semrawut, lahan hijau yang kian hari kian kritis, juga arah pembangunan yang kabur dari rencana semula. Apalagi dengan berdirinya 2 mal besar yang berada di gerbang Jatinangor dan di jantung Jatinangor, yakni Plaza Padjadjaran dan Jatinangor Town Square (Jatos).
Masalah yang lebih krusial adalah masalah sosial, sebab, perkembangan pembangunan Jatinangor umumnya baru bisa dinikmati kaum pendatang saja, sedangkan warga pribumi Jatinangor nyaris tertinggal, malah bisa dikatakan tersisih.
Memang dalam beberapa hal warga pribumi menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tetapi hal itu hanya terjadi dalam bidang yang kurang menguntungkan secara sosial dan finansial. Warga pribumi Jatinangor umumnya hanya menjadi buruh, ojeg (ongkos ngajegang) motor, warung makan dalam skala kecil, atau jasa pencucian pakaian. Bila pun ada yang mengelola pemondokan umumnya mereka hanya jadi pesuruh, bekerja pada juragan-juragan kost yang umumnya orang-orang berduit dari Jakarta, Bandung, atau Sumedang.
Masalah yang paling dirasakan penduduk adalah terbatasnya sumber air bersih, pengangguran penduduk lokal, dan kurangnya infrastruktur yang memadai, terutama jalan.
Selain itu, terjadi pula perubahan pola hidup budaya penduduk karena banyaknya mahasiswa pendatang, serta belum menyatunya civitas perguruan tinggi dengan masyarakat sekitar--yang sebagian besar tingkat pendidikannya masih rendah. Bahkan pola hidup sebagian mahasiswa yang mempertontonkan gaya hidup seks bebas, umpamanya, disadari atau tidak turut diadopsi oleh penduduk pribumi.
Permasalahan Jatinangor akan semakin kompleks seiring terbitnya SK No 620/Kep.824-Sarek/2005 tentang penetapan lokasi pembangunan tol Cisumdawu yang melewati 3 kabupaten, 12 kecamatan, dan puluhan desa, termasuk beberapa desa di Jatinangor.
Semrawutnya kawasan Jatinangor adalah sebuah ironi. Bagaimana tidak, di situ berkumpul kaum intelektual dari berbagai disiplin ilmu yang tergabung dalam empat perguruan tinggi yang cukup disegani--setidaknya di tingkat provisi. Tetapi dalam kenyataannya, jauh panggang dari api.
Padahal jika semua pihak yang mencari hidup dan menikmati hidup di kawasan Jatinangor rame ing gawe sepi ing pamrih--paheuyeuk-heuyeuk leungeun paantay-antay tangan--kacai jadi saleuwi ka darat jadi salebak atau bahu-membahu membangun Jatinangor dengan penuh kesadaran, maka rencana pemerintah yang sejak tahun 1987--malah usulannya telah mengemuka sejak sepuluh tahun sebelumnya, yang mencanangkan Jatinangor sebagai kawas pendidikan itu, bukan tak mungkin bisa berhasil dilaksanakan.
Tidak hanya itu, Jatinangor pun bila dikelola dengan baik dan terencana akan ngajanggelek jadi Kota Seni dan Budaya. Sebab, di kawasan yang berada di sekira 22 kilo meter dari timur kota Bandung, itu menyimpan beragam kesenian dan peninggalan sejarah.
Di lingkungan rektorat Unwim, misalnya. Disitu terdapat menara sirene atau Cultuur Ondernemingen Van Maatschapaij Baud, didirikan pada tahun 1841. Menara itu kini tampak tidak terpelihara dan umurnya sudah lebih dari 160 tahun.
Sekira seratus meter di sebelah barat menara terdapat dua nisan yang tak bernama di bawah pohon kihujan, pohon mahoni, dan cemara yang berusia lebih dari 90 tahun. Sayangnya prasasti batu pualam yang menempel pada nisan telah hilang. Itulah makam Baron Baud, pemilik dan pendiri onderneming dan putrinya, Mimosa.
Menurut cerita warga lokal, Baron Baud menikah dengan nyai-nyai dari Bogor bernama Ibu Inciah yang makamnya diperkirakan di bawah Gedung Ikopin sekarang.
Jatinangor tak hanya cerita kebun karet yang dikomadoi oleh Tuan Baron, Jatinangor pun terkenal dengan aneka kerajinannya. Yaitu sentra kerajinan tangan yang terdapat di Cibeusi dan Cipacing. Kerajinan tangan produk dari dua desa tersebut sudah terkenal ke mancanegara. Malah kerajinan tangan atau souvenir yang midang di pulau Bali pun tak sedikit kiriman dari Jatinangor.
Sementara itu, kesenian rakyat yang terkenal dan masih hidup di seputar Jatinangor diantaranya kuda renggong, kuda lumping, badawang, degung, tembang cianjuran, jaipongan, wayang golek, dan penca silat--kesemua jenis kesian itu biasanya saban peringatan HUT RI kerap dipertontonkan bersamaan dalam kemasan helaran atau arak-arakan.
Oh ya, Jatinangor pun memiliki lokasi dunia kepanduan yang berstandar nasional--yaitu Bumi Perkemahan Kiara Payung. Sedikit ke atas dari Buper Kiara Payung, akan Anda temui wana wisata Barubeureum. Sayangnya, Buper Kiara Payung itu hanya ramai bila ada kegiatan-kegiatan yang berbau seremonial, itu pun baru menggema dan terasa jika dihadiri oleh para penggede negeri ini. Ya, seperti yang akan terjadi pada bulan Juli yang akan datang. Karena selama 16-23 Juli ini Buper Kiara Payung akan menjadi tuan rumah pekan Jambore Nasional (Jamnas) yang ke-18.
Emh, jika semua kekayaan Jatinangor diberdayakan oleh seluruh pihak sebagaimana mestinya, Jatinangor tidak hanya akan jadi kota pendidikan, tapi sebagai kota seni dan budaya. Bila itu terlaksana, bukan tidak mungkin, Gunung Geulis pun akan kembali cantik seperti semula. Semoga.***

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Benar sekali. sekarang ini masalah sosial di jatinangor kian parah. semakin individualis. baik itu pribumi jatinangor atau pendatang. memprihatinkan -__-.