Rabu, 21 November 2007

nadoman nurul hikmah

"NADOMAN NURUL HIKMAH": PERTEMUAN ISLAM DAN SUNDA



Salah satu penanda nuansa religius Islam dalam kehidupan masyarakat Sunda bisa dilacak dari jejak langkah kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Hal semacam itu hingga kiwari terus berkembang dan menjadi salah satu sumber ilham para cerdik cendekia dalam menciptakan kreasi anyar sangkan tidak tergerus dimakan zaman.

Seiring pergerakan zaman, dalam proses akulturasi antara perpaduan nilai-nilai islami dan budaya Sunda terciptalah salah satu genre puisi Sunda dalam bangunan nadoman.

Nadoman atau pupujian adalah cara ungkap masyarakat Sunda melalui nyanyi-nyanyian dalam rangka mengagungkan Tuhan, Nabi Muhammad SAW, atau mengandung pesan moral bagi kemaslahatan dan keselamatan umat.

Nadoman kerap kita dengar di langgar-langgar, di masjid-masjid, atau di mimbar-mimbar pengajian, dan dilantunkan menjelang waktu shalat tiba, atau untuk mengisi waktu senggang kala menunggu sang ajengan datang.

Satu dari segelintir urang Sunda yang mengeksplorasi kearifan lokal budaya Sunda, wabil khusus sastra Sunda yang islami, adalah RH Hidayat Suryalaga.

Setelah salah satu jihad terbesarnya rampung-yang memakan waktu lebih dari 16 tahun, yakni menerjemahkan ayat suci Al Quran ke dalam bentuk pupuh (puisi terikat), Nur Hidayah: Saritilawah Basa Sunda Al Quran Winangun Pupuh (1994)-kiwari mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW itu ditafsir lagi oleh RH Hidayat Suryalaga ke dalam bait-bait syair.

Dari bait-bait syair itu terciptalah salah satu genre puisi Sunda dalam bangunan nadoman, dan sebagian dari 30 juz Al Quran tersebut sekarang telah terkumpul dalam beberapa daras (ngaderes-tadarusan) yang dinamai Nadoman Nurul Hikmah. "Muitis"

Sok sanajan Nadoman Nurul Hikmah tidak seperti Nur Hidayah yang berangkat dari puisi pupuh, yakni dalam merangkai kata demi kata harus patuh pada rumus pupuh, yang setiap suku kata dan jumlah baitnya mesti sama, Nadoman Nurul Hikmah-walaupun diniatkan oleh penyairnya sebagai puisi bebas-pada hakikatnya tetap terkesan muitis. Aj?n purwakanti atau rima dan irama dalam kata per kata tetap terpelihara.

Adapun salah satu kasang tukang terciptanya karya mulia itu berawal dari kegelisahan seorang RH Hidayat Suryalaga yang membaca fenomena masyarakat Sunda, yang dalam melantunkan nadoman di mimbar-mimbar pengajian atau di masjid-masjid sedari dulu yang dilantukannya itu-itu saja. Hal itu hampir seragam terjadi di seluruh penjuru Tatar Jawa Barat. Semacam nadoman: ?ling-?ling umat, muslimin-muslimat, hayu urang solat....

Nadoman Nurul Hikmah juga dibuat sang bujangga sebagai upaya memudahkan masyarakat Sunda dalam memahami kandungan Al Quran. Bukankah dalam memahami teks-teks Al Quran bisa dicapai dengan beragam cara? Yang lebih penting, dapat diterima dengan mudah dan murah oleh khalayaknya.

Berbeda dengan Nadoman

Nur Hidayah, yang dalam menembangkannya memerlukan kaparigelan khusus layaknya yang dimiliki para penembang tembang Sunda Cianjuran. Sebab, dalam Nur Hidayah unsur pupuh begitu kuat. Sementara dalam Nurul Hikmah kemahiran dalam penguasaan pupuh tidak begitu menjadi soal. Sebab, dalam melantunkannya kita bebas melagukan sesuai yang kita kehendaki. Hal itu karena Nadoman Nurul Hikmah bukan syair pupuh.

Terciptanya Nadoman Nurul Hikmah semakin menandaskan wacana Sunda-Islam atau Islam-Sunda adalah benar adanya. Sebab, Nadoman Nurul Hikmah disanggi berdasarkan pertemuan dua kebudayaan: Islam dan Sunda.

Hal ini menandakan akulturasi timbal balik antara Islam dan Sunda hingga kiwari masih tetap lumangsung. Keberadaan Nadoman Nurul Hikmah merupakan sebuah jawaban akan berkembangnya wacana arabisme-Islam yang sampai kiwari terus dipersoalkan.

Ternyata dengan pendekatan budaya, unsur keberislaman seseorang atau golongan itu bukan berarti mesti arabisasi. Hal ini menandakan bahwa urang Sunda terbuka pada aneka rupa budaya yang datang dari luar budayanya.

Sayang, hampir sama dengan Nur Hidayah, karya besar nan mulia Nurul Hikmah hingga kiwari juga masih miskin apresiasi. Tentu hal ini bukan berpangkal pada kandungan karya atau nilainya. Hal itu pun bukan tanggung jawab pembuatnya, melainkan lebih dari kurangnya kepedulian urang Sunda itu sendiri.

Karya besar bukan ditentukan oleh sedikit besarnya sambutan masyarakat. Roda zaman yang akan membuktikannya.

1 komentar:

ubeck mengatakan...

wah hebat niy pak djas, tulisannya jadi inget ke masa lalu, masa kecil niy,,,