Kamis, 22 November 2007

INFERIORITAS URANG SUNDA

Membaca Inferioritas Urang Sunda
Oleh Djasepudin

Jangan ragu berwacana, apalagi berbicara tentang Sunda. Sebab, dinamika wacana bisa dibaca awam untuk dilarapkan dalam keseharian. Keragaman wacana bisa dijadikan rujukan oleh para pemegang kebijakan. Toh, setiap insan atau golongan mempunyai masing-masing peran.
Ketakutan dicap provinsialistis merupakan pemikiran usang. Sebab, nilai nasionalisme seseorang tidak mesti berarti meninggalkan kesukuannya. Keglobalan sekalipun merindukan hal-hal kelokalan. Maka, teruslah berbicara dan berbuat untuk Sunda.
Sejarah mencatat, sebuah wacana mampu mengubah keadaan seseorang, golongan, atau masyarakat keseluruhan. Hanya karena selebaran pamflet yang ditempelkan di ruang-ruang publik, yang dikomandoi Adeng-Adjam, balar?a Sunda dan Nusantara kungsi dibuat geger oleh ulahnya.
Begitu juga wacana dalam sebuah media massa. Sanajan tidak bisa langsung dirasakan seperti kita menggigit cengek, wacana dalam media massa-besar atau kecil-bisa mengubah pandangan dan sikap pembaca, setidaknya pan-dangan pembaca pertama.
Sang "penyambung lidah rakyat" tidak tiba-tiba menjadi pemimpin besar revolusi sebelum menebar wacana dalam sejumlah tulisannya. Atau, beberapa bulan katukang wacana tentang pentingnya bahasa Sunda dalam khotbah Jumat sempat mengemuka di sebuah harian berbahasa Sunda dan Indonesia. Hasilnya, sanajan kakara sedikit saja, beberapa masjid di Tatar Sunda, setidaknya Bandung, yang sebelumnya seperti alergi pada bahasa Sunda karena takut dicap provinsialistis, kiwari telah meng-agendakan khotbah Jumat berbahasa Sunda.
Krisis kepemimpinan Sunda sejatinya bukan kabar anyar. Urang Sunda sejak dulu memang jarang terdengar menjadi imam, bahkan untuk menjadi makmum pun kerap menjadi korban. Ranah Sunda hanya dijadikan pijakan untuk mengembangkan ideologi atau kepentingan. Tempat meniti karier
Fenomena macam itu setidaknya terangkum dalam sebuah lelucon Sunda, "Mas Karno jeung Mas Karto parasea, nu jadi korbanna Mang Karna jeung Mang Karna." Saya pikir yang dimaksud Mas Karno di sini adalah Soekarno, Presiden Pertama RI. Sementara yang dimaksud Mas Karto tidak lain adalah Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, Pemimpin NII DI/TII yang kungsi menjadi Ketua Masyumi Jawa Barat. Baik Mas Karno maupun Mas Karto adalah keturunan Jawa. Keduanya mengembangkan sayap pemikirannya di tanah Sunda.
Bila Mas Karno meniti karier dan berutang besar pada Kota Bandung, Mas Karta lebih memilih Priangan timur (Garut, Tasik, Sumedang, dan Ciamis) sebagai basis perjuangannya. Lantas orang- orang Sunda macam Mang Karna dan Mang Karta tak kuasa manggut- manggut biluk menjadi pengikut, yang pada akhirnya diaduk-aduk bak adonan dodol garut.
Dengan kenyataan itu, apakah kita akan begitu saja reueus (bangga) pada kebesaran Soekarno, yang mana sikap reueus itu hanya bersandar Soekarno kungsi belajar di Tatar Sunda? Jika ya, dan hal itu setidaknya dilontarkan oleh Suwandi Sumartias (Kompas, 29 Juli 2006), mengapa Suwandi tidak reueus pula pada sosok lainnya, S M Kartosuwiryo, umpamanya. Bukankah wong Jawa yang satu ini pun banyak berkiprah di Tatar Sunda? Pergerakan S M Kartosuwiryo dan konco- konconya tentu dirojong urang Sunda.
Sikap biluk-menurut begitu saja-yang merasa cukup menjadi makmum, sejatinya mencerminkan sikap inferioritas urang Sunda. Fenomena inferior lahir karena adanya perasaan kekurang(tidak) mampuan diri. Sering juga karena seseorang memiliki rasa-rumasa atau memang betul-betul mempunyai kekurangan secara fisik maupun psikis. Penanda lain dari fenomena inferioritas adalah maksakeun maneh, bersikap kritis, sok sanajan tidak didukung basis materi yang mumpuni. Penghancuran Ki Sunda
Warisan kolonialisme bangsa Eropa itu lantas semakin dipertegas oleh kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Salah satu puncak keberingasan Orde Baru adalah penghancuran peninggalan Ki Sunda, baik fisik maupun psikis. Masih terngiang dalam ingatan kita situs Badigul di Rancamaya habis digerus, disulap menjadi lapangan golf dan perumahan mewah yang diperuntukkan bagi orang-orang elite berduit selangit. Hal ini seperti penghilangan jejak kearifan lokal lainnya, yang lagi-lagi berlindung dibalik jargon "atas nama pemba- ngunan."
Waktu itu hingga ayeuna urang Sunda kurang berbuat banyak. Karena itu, beberapa tahun kemudian peninggalan Sunda sejennya kembali digomeng-gomeng oleh orang-orang yang picik pikiran dan perasaan. Lagi-lagi urang Sunda hanya bisa humandeuar. Malahan antar- urang Sunda sendiri pun terlihat aing-aingan.
Suwandi Sumartias mengatakan, rendahnya motivasi untuk berkuasa disebabkan realitas politik yang tidak menentu alias karut-marut, tidak keruan, sehingga Ki Sunda lebih baik menarik diri kalau tidak ingin larut dalam kekacauan (Kompas, 29 Juli 2006). Kamandang macam ini semakin menegaskan bahwa urang Sunda memang bermental rendah diri, tidak pede kata para ABG.
Bagaimana tidak. Untuk menjadi pemimpin, urang Sunda mesti menunggu keadaan seaman dan senyaman mungkin, tidak sudi icikibung menunjukkan jati diri dalam keadaan harengheng. Sikap macam ini menandakan sikap pengecut dan bergantung pada kemampuan orang.
Adapun penyebab sikap inferioritas urang Sunda lainnya adalah kesalahan menafsirkan kearifan lama yang tidak relevan dan hingga kiwari terus dipraktikkan. Babasan buruk-buruk papan jati, umpamanya. Babasan buruk-buruk papan jati adalah tetap membela dulur atau baraya walaupun yang dibela nyata-nyata berbuat nista.
Untuk membangkitkan rasa pede urang Sunda, sangkan tidak selamanya memeluk teguh sikap ngelehan, minderwardeg complex, atau abdi dalem Sunda kilen. Salah satu mesti meniru filosofi ala Roby Darwis.
Di zaman keemasannya, ketika barisan penyerang Persib seperti Sutiono, Kekey Zakaria, Yusuf Bachtiar, dan Yudi Guntara kehilangan naluri golnya, dari lini tukang dengan gagah berani "Si Bima" melakukan overlapping-lari meliuk-liuk mengindari hadangan pemain lawan sambil menggiring bola maju menuju jala lawan sosoranganan- yang sebelumnya memberi aba-aba kepada rekan-rekannya dengan berteriak "halik ku aing" (minggir semua, biar olehku saja). Sontak seisi Stadion Siliwangi membahana dan mengucapkan "halik ku aing".
Filosofi halik ku aing sejatinya mencerminkan rasa percaya diri yang tinggi. Dalam menghadapi keadaan yang buntu dan gamang ia bergerak cepat dan tanggap. Setiap personel dituntut berbuat kreatif untuk melakukan hal positif. Se-panjang hayat dikandung badan, inovasi tiada henti mesti terus direproduksi.
Kecap "aing" itu sendiri sudah mencerminkan keberanian yang luar biasa, bukan abdi atau sa(ha)ya yang bermakna menghamba, yang ujung- ujungnya menunjukkan ketakberdayaan menghadapi rekan atau dunungan. Sikap halik ku aing bukan berarti goong nabeuh maneh. Sikap halik ku aing sejatinya untuk membabat babasan kumaha nu dibendo atau kumaha juragan, nyanggakeun sadaya-daya, kitu kieu abdi mah ngiringan bae.

Rabu, 21 November 2007

kota meteor jatinangor

”Kota Meteor” itu Bernama Jatinangor
Oleh DJASEPUDIN


"KURANGI Kecepatan, Memasuki Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor". Begitu bunyi rambu yang tertera di sekira 750 meter dari tugu perbatasan--antara Kabupaten Sumedang dengan Kabupaten Bandung. Yaitu selepas keluar dari pintu tol Purbaleunyi, tepatnya di Kampung Bojongeureun, Desa Cibeusi Kecamatan Jatinangor. Rambu itu pula yang tertera di bagian timur kawasan Jatinangor, tepatnya di dekat sungai Cikuda, di Desa Hegarmanah.
Kawasan Pendidikan, apa iya? Apa penanda yang mendukungnya? Apa hanya cukup dengan telah berdirinya empat perguruan tinggi--yang dibangun di bekas perkebunan karet "warisan" Barod Baud--pemilik dan pendiri Cultuur Ondernemingen Van Maatschapaij Baud yang dibangun pada tahun 1841. Empat perguruan tinggi itu adalah Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin), Universitas Winaya Mukti (Unwim), dan Universitas Padjadjaran (Unpad).
Kampus IPDN dan Ikopin letaknya di bibir Jalan Raya Bandung-Sumedang. Oleh karenanya bisa disawang dengan jelas dari dalam kendaraan kala Anda melintas ke kawasan yang terkenal dengan kerajinan tangannya, yaitu home industry yang berada di seberang kedua kampus tersebut, di Desa Cipacing dan Cibeusi.
Kompleks Unwim dan Unpad terletak agak menjorok. Bila disawang atau diamati dari jalan raya, kompleks kedua perguruan tinggi itu terhalangi oleh deretan kos-kosan atau pondokan mahasiswa, warung makan, kantor Dinas Pendidikan, kantor polisi, jasa pencucian pakaian, fotokopi, warung telekomunikasi, warung Internet, rental komputer dan jasa pengetikan, toko buku/komik, serta usaha lain yang galib berada di sabudeureun perguruan tinggi. Semua bangunan itu didirikan di atas bekas rel kereta api, milik Perumka--yang hingga kini menuai masalah--seiring semakin kencangnya rencana dan wacana pelebaran jalan.
Tak berbeda dengan deretan bangunan yang berada di muka dua kampus itu, di seberang jalannya pun nyampak pemandangan yang serupa. Malah mah lebih kompleks dan terkesan semrawut. Maka tak aneh, lebih-lebih dalam jam-jam kerja--sepanjang kawasan Jatinangor kerap terlihat macet. Bukan hanya macet, tetapi beragam pelanggaran mindeng diperlihatkan oleh seluruh pengguna jalan.
Adapun fungsi jembatan penyeberangan yang berdiri megah tepat di mulut gerbang Unpad dan di depan pos polisi, tampaknya hanya berguna atau menguntungkan pemerintahan setempat. Sedangkan fungsi utamanya nyaris hilang sama sekali. Karena pemandangan yang terlihat di atas jembatan bukannya lalu lalang para pejalan kaki, melainkan hanya sebentang reklame super besar dari sebuah produk perusahaan.
Jatinangor baheula dengan Jatinangor ayeuna jelas berbeda. Perkembangan pembangunan Jatinangor itu ibarat sebuah meteor yang melesat cepat. Tetapi pembangunan yang tampak saat ini hanya terasa dalam bentuk fisik.
Perkembangan Jatinangor mulai bergeliat ketika daerah itu dijadikan kawasan pendidikan tinggi dan ditetapkan tahun 1987 oleh Gubernur Jawa Barat. Dasar perubahannya bersumber pada Surat Keputusan Gubernur Jabar Nomor 593/3590/1987.
Secara administratif kawasan atau Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang itu meliputi 12 desa, yaitu Desa Sayang, Cikeruh, Cibeusi, Cipacing, Mekargalih, Hegarmanah, Cilayung, Cileles, Jatiroke, Jatimukti, Cisempur, dan Desa Cinta Mulya. Selain di Kecamatan Jatinangor--yang turut membentuk kawasan Jatinangor adalah Desa Cileunyi Kulon dan Cileunyi Wetan yang masuk ke wilayah Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung. Tetapi secara kultural Jatinangor pun meliputi beberapa kampung di Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan Cimanggung yang masuk ke dalam Kabupaten Sumedang--serta beberapa desa di Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung.
Seiring perkembangan zaman--masalah yang muncuat di Jatinangor tak hanya dalam bentuk kasat mata seperti jalan yang kerap macet, tata ruang kota yang semrawut, lahan hijau yang kian hari kian kritis, juga arah pembangunan yang kabur dari rencana semula. Apalagi dengan berdirinya 2 mal besar yang berada di gerbang Jatinangor dan di jantung Jatinangor, yakni Plaza Padjadjaran dan Jatinangor Town Square (Jatos).
Masalah yang lebih krusial adalah masalah sosial, sebab, perkembangan pembangunan Jatinangor umumnya baru bisa dinikmati kaum pendatang saja, sedangkan warga pribumi Jatinangor nyaris tertinggal, malah bisa dikatakan tersisih.
Memang dalam beberapa hal warga pribumi menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tetapi hal itu hanya terjadi dalam bidang yang kurang menguntungkan secara sosial dan finansial. Warga pribumi Jatinangor umumnya hanya menjadi buruh, ojeg (ongkos ngajegang) motor, warung makan dalam skala kecil, atau jasa pencucian pakaian. Bila pun ada yang mengelola pemondokan umumnya mereka hanya jadi pesuruh, bekerja pada juragan-juragan kost yang umumnya orang-orang berduit dari Jakarta, Bandung, atau Sumedang.
Masalah yang paling dirasakan penduduk adalah terbatasnya sumber air bersih, pengangguran penduduk lokal, dan kurangnya infrastruktur yang memadai, terutama jalan.
Selain itu, terjadi pula perubahan pola hidup budaya penduduk karena banyaknya mahasiswa pendatang, serta belum menyatunya civitas perguruan tinggi dengan masyarakat sekitar--yang sebagian besar tingkat pendidikannya masih rendah. Bahkan pola hidup sebagian mahasiswa yang mempertontonkan gaya hidup seks bebas, umpamanya, disadari atau tidak turut diadopsi oleh penduduk pribumi.
Permasalahan Jatinangor akan semakin kompleks seiring terbitnya SK No 620/Kep.824-Sarek/2005 tentang penetapan lokasi pembangunan tol Cisumdawu yang melewati 3 kabupaten, 12 kecamatan, dan puluhan desa, termasuk beberapa desa di Jatinangor.
Semrawutnya kawasan Jatinangor adalah sebuah ironi. Bagaimana tidak, di situ berkumpul kaum intelektual dari berbagai disiplin ilmu yang tergabung dalam empat perguruan tinggi yang cukup disegani--setidaknya di tingkat provisi. Tetapi dalam kenyataannya, jauh panggang dari api.
Padahal jika semua pihak yang mencari hidup dan menikmati hidup di kawasan Jatinangor rame ing gawe sepi ing pamrih--paheuyeuk-heuyeuk leungeun paantay-antay tangan--kacai jadi saleuwi ka darat jadi salebak atau bahu-membahu membangun Jatinangor dengan penuh kesadaran, maka rencana pemerintah yang sejak tahun 1987--malah usulannya telah mengemuka sejak sepuluh tahun sebelumnya, yang mencanangkan Jatinangor sebagai kawas pendidikan itu, bukan tak mungkin bisa berhasil dilaksanakan.
Tidak hanya itu, Jatinangor pun bila dikelola dengan baik dan terencana akan ngajanggelek jadi Kota Seni dan Budaya. Sebab, di kawasan yang berada di sekira 22 kilo meter dari timur kota Bandung, itu menyimpan beragam kesenian dan peninggalan sejarah.
Di lingkungan rektorat Unwim, misalnya. Disitu terdapat menara sirene atau Cultuur Ondernemingen Van Maatschapaij Baud, didirikan pada tahun 1841. Menara itu kini tampak tidak terpelihara dan umurnya sudah lebih dari 160 tahun.
Sekira seratus meter di sebelah barat menara terdapat dua nisan yang tak bernama di bawah pohon kihujan, pohon mahoni, dan cemara yang berusia lebih dari 90 tahun. Sayangnya prasasti batu pualam yang menempel pada nisan telah hilang. Itulah makam Baron Baud, pemilik dan pendiri onderneming dan putrinya, Mimosa.
Menurut cerita warga lokal, Baron Baud menikah dengan nyai-nyai dari Bogor bernama Ibu Inciah yang makamnya diperkirakan di bawah Gedung Ikopin sekarang.
Jatinangor tak hanya cerita kebun karet yang dikomadoi oleh Tuan Baron, Jatinangor pun terkenal dengan aneka kerajinannya. Yaitu sentra kerajinan tangan yang terdapat di Cibeusi dan Cipacing. Kerajinan tangan produk dari dua desa tersebut sudah terkenal ke mancanegara. Malah kerajinan tangan atau souvenir yang midang di pulau Bali pun tak sedikit kiriman dari Jatinangor.
Sementara itu, kesenian rakyat yang terkenal dan masih hidup di seputar Jatinangor diantaranya kuda renggong, kuda lumping, badawang, degung, tembang cianjuran, jaipongan, wayang golek, dan penca silat--kesemua jenis kesian itu biasanya saban peringatan HUT RI kerap dipertontonkan bersamaan dalam kemasan helaran atau arak-arakan.
Oh ya, Jatinangor pun memiliki lokasi dunia kepanduan yang berstandar nasional--yaitu Bumi Perkemahan Kiara Payung. Sedikit ke atas dari Buper Kiara Payung, akan Anda temui wana wisata Barubeureum. Sayangnya, Buper Kiara Payung itu hanya ramai bila ada kegiatan-kegiatan yang berbau seremonial, itu pun baru menggema dan terasa jika dihadiri oleh para penggede negeri ini. Ya, seperti yang akan terjadi pada bulan Juli yang akan datang. Karena selama 16-23 Juli ini Buper Kiara Payung akan menjadi tuan rumah pekan Jambore Nasional (Jamnas) yang ke-18.
Emh, jika semua kekayaan Jatinangor diberdayakan oleh seluruh pihak sebagaimana mestinya, Jatinangor tidak hanya akan jadi kota pendidikan, tapi sebagai kota seni dan budaya. Bila itu terlaksana, bukan tidak mungkin, Gunung Geulis pun akan kembali cantik seperti semula. Semoga.***

mahasiswa dalam paribasa sunda

Ilmu, Bandung, dan Mahasiswa dalam "Paribasa" Sunda



Penguasaan ilmu pengetahuan dan kemampuan memberdayakan pikiran menjadi salah satu sebab berbedanya derajat manusa dari makhluk lainnya. Sato busana daging, manusa mah busana ?lmu.


Oleh karenanya, Gusti Nu Maha Suci mengutus manusia sebagai pemimpin guna memelihara bumi-Nya. Ya, ilmu pisan modal untuk memenuhi perintah-Nya. Sebab, kedudukan ilmu amat penting. Bukankah ada kalimat yang menyatakan, pek nyiar elmu sing soson-soson, sok sanajan tepi ka nagri China.

Kita jangan cepat berpuas diri akan sebuah ilmu yang telah dimiliki. Sebab, elmu teh lir sagara nu jero tan wates wangenna. Apalagi, ilmu mah tidak akan susah bila dibawa kemana pun, uncal mah tara ridueun ku tanduk.

Akan tetapi, jangan kokomoan. Keseimbangan tetap menjadi patokan. Elmu tungtut dunya siar, sukan-sukan sakadarna, indung hukum bapa darigama. Hal tersebut untuk keselamatan dunia dan akhirat.

Bertalian dengan ilmu, ras teringat akan kawih nelengnengkung-nelengnengkung, geura gede geura jangkung, geura sakola ka Bandung, geura makayakeun indung. Meski kawih tersebut agak tak ajek juga karena diimbangi dengan paribasa bengkung ngariung, bongkok ngaronyok, inggis ku bisi rempan ku sugan. Inggisna ge inggis batan maut hinis, yang berarti lebih baik berkumpul dengan keluarga ketimbang hidup mengembara.

Kawih nelengnengkung teh ternyata terbukti dalam pajamanan kiwari. Entah karena cacandran Bandung heurin ku tangtung atau entah urang Bandung mah tidak ngelmu tumbila, selamanya darehdeh someah hade ka semah. Akhirnya, penduduk Bandung saban tahun terus melesat.

Mentang-mentang adat kakurung ku iga, kelakuan di kampungnya dibabawa ka Bandung. Seharusnya mereka menerapkan filosofi pindah cai pindah tampian alias menyesuaikan diri terhadap adat atau kebiasaan di tempat perantauan.

Karena darehdeh someah hade ka semah, akhirnya orang-orang datang dari pelbagai penjuru, ti nanggerang lila beurang, ti nanggorek lila poek, ngaleut ngangkeuy ngabandaleut, ngembat-ngembat nyatang pinang, sebab takut digolongkan dalam paribasa urang kampung bau lisung, cacah rucah atah warah. Hasilnya, Bandung makin heurin ku tangtung, apalagi dalam masa penerimaan sekolah seperti sekarang. Parahnya, jumlah mahasiswa yang datang ke Bandung tidak berbanding dengan jumlah mahasiswa yang meninggalkan Bandung. "Lali ka purwadaksi"

Jumlah penduduk Bandung yang kian meledak menyebabkan pembangunan di Bandung seperti awi sumaer di pasir, bingung luwang-liwung, tidak jelas dasar pijakannya.

Tujuan utama calon mahasiswa ngabring ke Bandung untuk nungtut elmu nyucruk panemu, nyuprih pangarti ngala kabisa, keur miceun katuna. Namun, manusia, termasuk mahasiswa, terkadang sok keuna ku owah gingsir.

Tidak sedikit mahasiswa kabawa ku sakaba-kaba, salah arah dari tujuan awalnya. Yang tadinya hendak menuntut ilmu malah pelengkung bekas nyalahan. Mereka ng?lmu sapi, bersama-sama hanya dalam hal negatif. Fatwanya, tidak gaul jika tidak mengunjungi diskotek, tidak modern jika tidak mabuk, padahal hal macam tersebut berbau kabarat-baratan.

Mereka lali ka purwadaksi. Dari ngelmu sapi lalu jadi ngelmu angklung, joledar-tambelar alias memerkosa kepercayaan orangtuanya. Padahal, orangtuanya ngabelaan dug hulu pet nyawa alias banting tulang mencari penghasilan untuk membiayai putranya. Istilah huap hiji ge diduakeun bukan ucapan hampa makna.

Bukankah kasih sayang orangtua mah lir gunung tanpa tutugan sagara tanpa tepi, kasih sayang yang tiada batasnya. Sudah mah kolot kolotok, tuna dari ilmu pengetahuan, ditambah kita yang disekolahkannya menghambur-hambur uang demi hura-hura belaka.

Merasa bangga dengan status mahasiswa, merasa buncir leuit loba duit, meski gindingna ginding kakampis, mereka hanya berharap banjir pujian. Padahal, di rumahnya sangat memprihatinkan, gindingna ginding bangbara. Tindakan seperti itu bakal terjerembab pada paribasa gindi pikir belang bayah. Adigung

Sikap mahasiswa seperti itu sangat tidak baik, apalagi bila dibubuhi "uniko", "sumuhun", "usaha nipu kolot" tea. Padahal, keselamatan dan kebahagiaan kita bergantung rida orangtua, indung tunggul rahayu, bapa tangkal darajat. Rida Allah rida anjeunna.

Atuh, yang memang benar-benar belajar hingga selesai setidaknya telah mendapat gelar sarjana. Ilmu jangan didiamkan saja. Agar kapipit hasilna kaala buahna, amalkan ilmu dalam kehidupan, lantas berikan kepada masyarakat luas. Tentu manfaatnya bakal terasa hingga kita sudah rup ka padung, rap ku lemah, katuruban taneuh beureum, maut namanya.

Akan tetapi, kita jangan ngelmu ajug, fasih menasihati orang lain, namun kita sendiri melanggarnya, kawas pantun teu jeung kacapi. Karena telah menjadi sarjana, merasa diri paling pintar, adigung, adiguna, kakeunaan ku aen, berharap banjir ujian, sikapnya jadi kumaha aing, asa aing uyah kidul. Apalagi jika berani menasihati orang yang legok tapak genteng kadek alias yang lebih berpengalaman, sama saja dengan nyiduh ka langit, mapagahan ngojay ka meri.

Padahal, uteuk tongo dina tarang batur kanyahoan, gajah depa dina tarang sorangan tan katingalan. Bisa saja orang yang dianggap kita buruk sejatinya lebih baik dari kita. Jerona sagara bisa diteuleuman, hate jelema najan deet moal kakobet.

Persib dan Realitas Kesundaan

Persib dan Realitas Kesundaan


Persatuan Sepak Bola Indonesia Bandung alias Persib bukan hanya sekumpulan pemain dan manajemen yang menggeluti seputar permainan bola bulat. Dengan dukungan pemerintah, bobotoh, dan media, Persib telah menjelma menjadi salah satu kareueus urang Sunda.

Bukan hanya karena Persib pada akhir putaran pertama Liga Indonesia XIII mantap berada di posisi pertama, atau teringat akan kejayaan Persib tempo dulu, lebih dari itu Persib menjelma menjadi salah satu ikon kebanggaan urang Sunda. Sebab, realitas nasib urang Sunda kiwari di pelbagai bidang kehidupan memang memprihatinkan.

Survei Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat terhadap kecenderungan dan karakteristik penduduk di Jawa Barat hingga Agustus 2006, misalnya, menunjukkan, penduduk pendatang yang bekerja di sektor jasa mencapai 34,38 persen, sedangkan penduduk pribumi hanya 18,00 persen.

Pada sektor industri, pekerja pendatang sebanyak 22,97 persen, sedangkan penduduk pribumi hanya 10,20 persen. Begitu pula di sektor perdagangan, sebanyak 15,92 persen pekerjanya adalah penduduk pendatang dan 15,68 persen pribumi.

Dari ranah politik, warta keterlibatan urang Sunda dalam dunia ini juga belum menggembirakan. Di kalangan orang non-Sunda yang manggung di seputaran Senayan (DPR), ternyata yang memilih mereka umumnya adalah orang Sunda. Mereka sukses di negeri perantauan. Lantas, di mana posisi penduduk Jawa Barat yang populasinya telah lebih dari 40 juta jiwa? Akankah jati kasilih ku junti terus kita pertahankan?

Sunda keseluruhan

Akan tetapi, bila melihat jargon-jargon kesundaan atau wacana kesundaan lainnya, hal itu umumnya masih bersifat artifisial. Sunda hanya kulitnya, ngan saukur abang-abang lamb?. Teriakan untuk menyejahterakan dan memperlihatkan Sunda umumnya hanya bersifat romantik dan melankolik. Sangat basi, kejayaan mitos Siliwangi yang menjadi ujung dan pangkalnya. Sunda ngan jadi panineungan.

Maka, sangat beralasan bahwa keberhasilan Persib menuai prestasi pada musim ini tidak hanya disambut warga Kota Bandung. Namun, Sunda secara keseluruhan pun merasakan hal yang sama. Apalagi, barisan penggawa Persib tidak hanya dihuni pituin Kota Bandung. Pelbagai kota di Jawa Barat lainnya pun menyumbangkan pemainnya demi n?mbongkeun sihung Persib "Maung Bandung". Salim dan Eka merupakan duta dari Purwakarta, Edi Hafid putra terbaik Ciamis, Gilang urang Kabupaten Bandung, Arief asli Garut, Firasat pemuda Rancaekek, Edi Kurnia dari Bogor, dan Tema utusan dari Tangerang.

Ihwal keterlibatan pemain asing dalam tubuh Persib ayeuna, yang dulu sempat dipamalikeun, bukanlah sebuah persoalan. Sebab, sepak bola kiwari adalah sepak bola industri. Sepak bola telah menjadi barang dagangan. Prestasi dan prestise mesti berjalan beriringan.

Dalam tataran ini Persib telah ngigelan jeung ngigelkeun jaman. Apalagi, stok pemain berkualitas yang dimiliki Persib sangat terbatas. Pembinaan pemain muda Persib belum banyak menghasilkan bibit unggul berkelas untuk pentas di kelas yang lebih tinggi.

Sangkan prestasi Persib makin memuncak dan Persib tetap jadi kareueus urang Sunda, apa yang telah ditorehkan di musim lalu hendaknya lebih ditingkatkan. Bobotoh yang biasanya menuntut lebih akan prestasi Persib harus dijadikan teman seperjuangan.

Bobotoh tidak hanya menjadi penyemangat, tetapi juga bisa dijadikan sumber keuangan. Jangan lagi terdengar tiket pertandingan kandang Persib diijonkeun oleh dan kepada oknum. Mafia percaloan juga mesti dibasmi dari puncak hingga ke akar-akarnya. Sebab, bila tiket pertandingan kandang Persib dikelola secara profesional, mustahil saban menggelar pertandingan kandang Persib selalu merugi.

Sikap bobotoh yang mulai bisa tertib adalah modal awal manajemen dan pemain Persib untuk membentuk Persib yang lebih bertenaga, selalu segar, dan atraktif dalam makalangan di lapangan hijau.

Keikhlasan bobotoh menggalang dana yang bertajuk deudeuh ka Persib yang difasilitasi harian Tribun Jabar jangan dianggap sebelah mata. Itulah sepenggal bukti kecintaan bobotoh akan klub kameumeutna.

"Halik ku aing"

Yel-yel penyemangat yang diteriakkan bobotoh pun harus lebih bervariasi. Tentu kita masih ingat filosofi Roby Darwis yang berbunyi halik ku aing. Pemilihan kata aing dalam yel-yel yang digorowokkeun bobotoh sudah amat tepat.

Filosofi aing sejatinya mencerminkan rasa percaya diri yang tinggi. Dalam menghadapi keadaan yang buntu dan gamang, ia bergerak cepat dan tanggap. Kata aing itu sendiri sudah mencerminkan keberanian yang luar biasa, bukan abdi atau sa(ha)ya yang bermakna menghamba, yang ujung-ujungnya menunjukkan ketidakberdayaan menghadapi rekan, terutama lawan.

Tentu keberhasilan Persib menjadi jawara paruh musim tak lepas dari peran kepiawaian manajemen. Namun, akankah manajemen Persib selamanya diduduki orang-orang pemerintahan? Bukan pekerjaannya yang menjadi soal, melainkan sumber anggarannya yang mesti menjadi bahan pikiran dan kajian. Apalagi, mulai tahun depan Persib dan klub-klub peserta Liga Indonesia lainnya tidak akan lagi mendapatkan anggaran APBD.

Adalah langkah tepat jika manajemen Persib sedari dini menawarkan Persib ke pihak swasta guna mengurusi anggaran yang dibutuhkan Persib untuk musim depan. Akan tetapi, kita jangan kokomoan. Istilah jual dedet seperti yang sering dilakoni sejumlah surat kabar kala menjual eksemplar koran atau tabloidnya kepada pemerintah atau instansi harus dihindari. Sikap profesional tetap jadi garda terdepan.

Di samping soal keuangan, Persib pun mesti lebih serius dalam memikirkan pembinaan pemain muda. Sebab, mereka adalah ahli waris yang pantas dan paling sah, yang kelak menerima tongkat estafet yang ditinggalkan Yaris Riyadi, Cecep Supriatna, dan Suwita Patha saparankanca.

Kompetisi di lingkungan Persib mesti lebih ditingkatkan. Jangan terjadi lagi klub yang mengikuti kompetisi di lingkungan Persib terdegradasi atau dicoret gara-gara klub tersebut bangkrut atau kekurangan pemain, seperti yang dialami klub Turangga.

Akhirulkalam, semuanya berpulang pada pemain. Secerdas apa pun pelatih menyusun strategi yang brilian, serapi dan seprofesional apa pun dorongan dari tim manajemen, serta sebesar dan seheroik apa pun dukungan bobotoh, hal itu tak akan ada artinya bila tidak diterjemahkan dan diterapkan dengan baik dan sesempurna mungkin oleh komponen pemain. Sebab, engkau berjuang bukan hanya bagi publik sepak bola, tetapi engkau juga berjuang buat masyarakat Sunda.

Prung padungdung "Maung Bandung". Mugia jaya di buana. Hurip Persib waras Sunda.

nadoman nurul hikmah

"NADOMAN NURUL HIKMAH": PERTEMUAN ISLAM DAN SUNDA



Salah satu penanda nuansa religius Islam dalam kehidupan masyarakat Sunda bisa dilacak dari jejak langkah kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Hal semacam itu hingga kiwari terus berkembang dan menjadi salah satu sumber ilham para cerdik cendekia dalam menciptakan kreasi anyar sangkan tidak tergerus dimakan zaman.

Seiring pergerakan zaman, dalam proses akulturasi antara perpaduan nilai-nilai islami dan budaya Sunda terciptalah salah satu genre puisi Sunda dalam bangunan nadoman.

Nadoman atau pupujian adalah cara ungkap masyarakat Sunda melalui nyanyi-nyanyian dalam rangka mengagungkan Tuhan, Nabi Muhammad SAW, atau mengandung pesan moral bagi kemaslahatan dan keselamatan umat.

Nadoman kerap kita dengar di langgar-langgar, di masjid-masjid, atau di mimbar-mimbar pengajian, dan dilantunkan menjelang waktu shalat tiba, atau untuk mengisi waktu senggang kala menunggu sang ajengan datang.

Satu dari segelintir urang Sunda yang mengeksplorasi kearifan lokal budaya Sunda, wabil khusus sastra Sunda yang islami, adalah RH Hidayat Suryalaga.

Setelah salah satu jihad terbesarnya rampung-yang memakan waktu lebih dari 16 tahun, yakni menerjemahkan ayat suci Al Quran ke dalam bentuk pupuh (puisi terikat), Nur Hidayah: Saritilawah Basa Sunda Al Quran Winangun Pupuh (1994)-kiwari mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW itu ditafsir lagi oleh RH Hidayat Suryalaga ke dalam bait-bait syair.

Dari bait-bait syair itu terciptalah salah satu genre puisi Sunda dalam bangunan nadoman, dan sebagian dari 30 juz Al Quran tersebut sekarang telah terkumpul dalam beberapa daras (ngaderes-tadarusan) yang dinamai Nadoman Nurul Hikmah. "Muitis"

Sok sanajan Nadoman Nurul Hikmah tidak seperti Nur Hidayah yang berangkat dari puisi pupuh, yakni dalam merangkai kata demi kata harus patuh pada rumus pupuh, yang setiap suku kata dan jumlah baitnya mesti sama, Nadoman Nurul Hikmah-walaupun diniatkan oleh penyairnya sebagai puisi bebas-pada hakikatnya tetap terkesan muitis. Aj?n purwakanti atau rima dan irama dalam kata per kata tetap terpelihara.

Adapun salah satu kasang tukang terciptanya karya mulia itu berawal dari kegelisahan seorang RH Hidayat Suryalaga yang membaca fenomena masyarakat Sunda, yang dalam melantunkan nadoman di mimbar-mimbar pengajian atau di masjid-masjid sedari dulu yang dilantukannya itu-itu saja. Hal itu hampir seragam terjadi di seluruh penjuru Tatar Jawa Barat. Semacam nadoman: ?ling-?ling umat, muslimin-muslimat, hayu urang solat....

Nadoman Nurul Hikmah juga dibuat sang bujangga sebagai upaya memudahkan masyarakat Sunda dalam memahami kandungan Al Quran. Bukankah dalam memahami teks-teks Al Quran bisa dicapai dengan beragam cara? Yang lebih penting, dapat diterima dengan mudah dan murah oleh khalayaknya.

Berbeda dengan Nadoman

Nur Hidayah, yang dalam menembangkannya memerlukan kaparigelan khusus layaknya yang dimiliki para penembang tembang Sunda Cianjuran. Sebab, dalam Nur Hidayah unsur pupuh begitu kuat. Sementara dalam Nurul Hikmah kemahiran dalam penguasaan pupuh tidak begitu menjadi soal. Sebab, dalam melantunkannya kita bebas melagukan sesuai yang kita kehendaki. Hal itu karena Nadoman Nurul Hikmah bukan syair pupuh.

Terciptanya Nadoman Nurul Hikmah semakin menandaskan wacana Sunda-Islam atau Islam-Sunda adalah benar adanya. Sebab, Nadoman Nurul Hikmah disanggi berdasarkan pertemuan dua kebudayaan: Islam dan Sunda.

Hal ini menandakan akulturasi timbal balik antara Islam dan Sunda hingga kiwari masih tetap lumangsung. Keberadaan Nadoman Nurul Hikmah merupakan sebuah jawaban akan berkembangnya wacana arabisme-Islam yang sampai kiwari terus dipersoalkan.

Ternyata dengan pendekatan budaya, unsur keberislaman seseorang atau golongan itu bukan berarti mesti arabisasi. Hal ini menandakan bahwa urang Sunda terbuka pada aneka rupa budaya yang datang dari luar budayanya.

Sayang, hampir sama dengan Nur Hidayah, karya besar nan mulia Nurul Hikmah hingga kiwari juga masih miskin apresiasi. Tentu hal ini bukan berpangkal pada kandungan karya atau nilainya. Hal itu pun bukan tanggung jawab pembuatnya, melainkan lebih dari kurangnya kepedulian urang Sunda itu sendiri.

Karya besar bukan ditentukan oleh sedikit besarnya sambutan masyarakat. Roda zaman yang akan membuktikannya.

"Rasisme" Dalam Lelucon Sunda

"Rasisme" Dalam Lelucon Sunda
Oleh DJASEPUDIN

"RASISME" tak melulu mempersoalkan warna kulit atau rambut rintik. "Rasisme" tak selamanya berputar pada permasalahan fisik. "Rasisme" ada di setiap ranah. Adakah "Rasisme bersemayam dalam kehidupan masyarakat Sunda? Sejak kapan ia lahir? Lewat media apa ia bisa tumbuh dan berkembang? Dalam amatan penulis, setidaknya hal itu bisa kita rasakan dalam lelucon.

Pada umumnya, masyarakat kita masih menganggap humor sebagai suatu unsur budaya pop. Humor belum diakui sebagai bidang kreativitas tersendiri yang sebetulnya sama absahnya dengan ilmu pengetahuan dan seni sastra (Arwah Setiawan, Prisma, 1977: 82). Padahal humor bisa memengaruhi terhadap kehidupan kebudayaan (Ibing Kusmayatna, 1996: 20). Humor adalah sebuah sketsa vibrasi keluhan dan potret sosial masyarakat (bahkan juga situasi perpolitikan nasional). Ia menjadi satire, sebuah arena kegetiran yang coba ditumpahkan ke dalam fantasi senyum. Ia menjadi medan emphasis (tekanan) keseriusan untuk disatirkan (Hazmirullah, Pikiran Rakyat 2004).

Humor adalah sesuatu yang lucu, keadaan dalam cerita yang menggelikan hati, kejenakaan, dan lelucon (KBBI: 1997). Lelucon itu sendiri adalah dongeng-dongeng yang dapat menimbulkan rasa menggelikan hati, sehingga menimbulkan tertawa bagi yang mendengarnya maupun yang menceritakannya. Walaupun demikian bagi kolektif atau tokoh tertentu, yang menjadi sasaran dongeng itu dapat menimbulkan rasa sakit hati (James Danandjaya, 1991: 117).

Humor dalam kebudayaan Sunda dapat ditemukan dalam pelbagai aneka kesenian; seperti dalam carita pantun, wawacan, wawangsalan, wayang, longser, upacara adat, drama, tatarucingan, tembang, carpon, novel, pun dalam puisi dan tari. Pengertiannya sepadan dengan istilah heureuy, banyol, guguyon, lulucon, ogel, bodor, dan badud (Hidayat Suryalaga, 1996: 18).

Humor telah menjadi ciri orang Sunda (Enang Rokajat Asyura, 1996: 10). Salah satu ciri yang menjadi penandanya adalah pendapat dari Oey Eng Soe (Oejeng Soewargana) bahwa dalam keseharianya, orang Sunda terlebih dahulu menunjukkan giginya sebelum melakukan aktivitasnya (Usep Romli H.M., 1996: 13). Bahkan etnis lain di belahan Indonesia lainnya pun, disadari atau tidak, turut mengakui dan mengeksploitasi pendapat bahwa, orang Sunda itu identik dengan humor.

Apalagi jika melihat sejumlah media massa berbahasa Sunda mempunyai halaman khusus, dipersembahkan hanya untuk rubrik humor semata. Majalah Mangle, misalnya, menyediakan rubrik Carpon Lucu, Pangalaman Para Mitra, dan Ha..ha..ha. Tabloid Galura mempunyai rubrik Torotot Heong, menggantikan rubrik sebelumnya, Parkir Seuri. Dalam majalah Seni Budaya ada rubrik Bari Ngaronda Layow. Dan majalah Cupumanik pun mempunyai rubrik humor yang cukup menarik, Landong Baeud.

Dalam koran Galamedia Bandung, misalnya, setiap hari Sabtu atau minggu selalu menyuguhkan ruang humor dalam rubrik Sabulangbentor dan Ceuk Si Cepot, hasil racikan dari dua orang budayawan Sunda ternama, pada diri seorang pengarang, Taufik Faturohman dan seorang dalang kondang, Asep Sunandar Sunarya.

Dalam kepustakaan sastra Sunda antologi humor yang pertama terbit adalah Goegoejon (1922) karya Sastrawinata dan S. Goenawan yang diterbitkan oleh Commisie Voor de Volkslectuur. Lalu disusul dengan Dogdog Pangrewong (1930), karya G.S. Sebuah inisial yang hinggi kini belum terpecahkan siapa yang bersembunyi di balik nama tersebut, serta sejumlah buku lainnya seperti Landong Baeud (1937 dan 1986), Badingkut (1966 ) karya Oey Ing Soe (Uying Suwargana), Angeun Haseum (1966) karya M.A. Salmun, Buntut Oa (1964 dan 2002) hingga Sabulangbentor (2001) karya Taufik Faturohman.

Menurut Tatang Sumarsono, maraknya penerbitan kumpulan humor-humor Sunda, satu di antaranya adalah adanya anekdot di antara para pengarang Sunda sendiri bahwa, menerbitkan kumpulan humor jauh lebih menguntungkan daripada menerbitkan kumpulan cerpen atau puisi.

Tetapi, apakah humor-humor tersebut hanya diperuntukkan untuk pelepas suntuk atau dihadirkan hanya untuk penyegar suasana belaka, karena menurut M.A.W. Brouwer, orang Sunda dalam kesehariannya suka merelatifkan dunia, diri, dan surga serta selalu mencari segi humor dari apa saja yang dibicarakan (M.A.W. Brouwer, 2003: 3), ataukah humor-humor tersebut merupakan bagian dari manifestai jiwa kreatif orang Sunda dalam menyikapi keadaan (Ajip Rosidi, 1966).

p mengerikan jika humor-humor tersebut mengarah kepada sebuah bentuk "rasisme". Karena dampak sosial yang dihasilkan dari sebuah "rasisme" benar-benar riil dan jahat (Ania Loomba, 2003: 159). Bahkan menurut Harun Yahya (Adnan Oktar) munculnya zionisme pun asal-muasalnya dari gerakan "rasisme"

**

PENGERTIAN humor cakupan sangat luas, karenanya, tulisan pendek ini selanjutnya menitikberatkan pada sebuah bentuk humor suku bangsa (lelucon). Lelucon dan anekdot mengenai suku bangsa adalah dongeng-dongeng lucu tetapi bersifat menghina atau menertawakan bangsa atau suku bangsa lain (Danandjaya, 1991: 126). Lelucon itu sendiri menurut kirata (dikira-kira nyata) basa Sunda berasal dari kata lulucuan (bandingkan dengan karaton asal kata karatuan atau kamalayon asal kata kamalayuan)

Adapun pengertian "ras" adalah penggolongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan rumpun bangsa, warna kulit biasanya menjadi penanda utama dari identitas rasial (KBBI: 1997). Tetapi menurut Miles "ras" adalah realitas-realitas yang dibayangkan secara sosial dan bukan secara biologis. Sementara warna telah dianggap sebagai penanda utama dari identitas rasial, yang dibentuk oleh persepsi-persepsi adanya perbedaan religius, etnik, linguistik, nasional, seksual, dan kelas, (Loomba, 2003: 158). Senada dengan Ania Loomba, William A. Haviland mengatakan bahwa "ras" ada sebagai kategori budaya dan biologis (Haviland, 1999: 185).

Sastra Sunda pada umumnya menceritakan kehidupan manusia Sunda. Akan tetapi, karena manusia Sunda pun terlibat dengan manusia-manusia bukan Sunda, relasi-relasi tersebut tergambar pula dalam sastranya. Relasi-relasi inilah yang sering diwarnai dengan rasisme (Teddi A.N. Muhtadin, Pikiran Rakyat 2003).

Gambaran tentang lelucon rasis pernah dialami oleh Soeharmono Tjitrosoewarno (redaktur Pikiran Rakyat Bandung), orang Ngawi (Jawa) ketika beliau pertama kali menginjak tanah Bandung (Sunda). Beliau pernah diledek oleh orang Sunda dengan ungkapan Jawa koek maling apu, datang poek teu diaku (Jawa Koek mencuri kapur, datang gelap tak diakui).

Dari lelucon tersebut dapa tergambar bahwa objek sasaran rasis adalah orang Jawa. Yang menjadi penandanya adalah kata "Jawa Koek". "Jawa" mengandung makna satu letak geografis di sebelah timur dari Tatar Sunda (Bandung). Sedang "koek" diidentikkan dengan orang Jawa yang sedang mengembara di Tatar Sunda.

Untungnya lelucon tersebut hanya menimpa Soeharmono yang memiliki sifat jembar manah (besar hati). Soeharmono tidak mudah tersinggung, malah dengan ejekan yang diterimanya beliau semakin bersemangat untuk memperdalam bahasa dan budaya Sunda. Sebagai bukti, lelucon datang poek teu diaku ia plesetkan menjadi datang poek dipulung minantu, karena pada tahun 1959 beliau mempersunting wanoja Sunda sebagai teman hidup.

Jelas, lelucon rasis memang bersemayam dalam masyarakat Sunda. Lalu apa yang menjadi penyebabnya dan sejak kapan "rasisme" berlangsung dalam kehidupan Ki Sunda? Tentunya menjawab pertanyaan tersebut secara tepat memerlukan penelitian yang "ekstra khusus".

**

MENURUT William A. Haviland "rasisme" dapat dipandang melulu sebagai suatu masalah sosial. "Rasisme" adalah dokrin superioritas rasial, yang menyatakan superioritas kelompok yang satu atas kelompok yang lain. Munculnya "rasisme" disebabkan adanya perbedaan kelas sosial.

Menurut Miles, pembentukan kelas tersebut dilakukan dengan rasialisasi (Loomba, 2003: 165). Sedangkan menurut William A. Haviland, adanya kelas-kelas sosial tersebut melahirkan aneka rupa konflik, termasuk konflik rasial. Konflik rasial timbul karena dendam dan permusuhan yang lama tertekan.

"Rasisme" dalam lelucon Sunda tidak terlepas dari peran kolonialisme. Warisan kolonial ini menurut Benjamin G. Zimmer kemudian "dimoderenisasi" menurut wacana pembangunanisme Orde Baru. Bahkan menurut Mangunwijaya, kolonialisme merupakan musuh yang bersanding dengan Jawa masa lalu, pendudukan Jepang, dan Orde Baru (Sumarwan, 2004: 61).

Untuk mengekalkan kekuasaan kolonilaismenya Belanda menciptakan status sosial yang hierarkis berdasarkan ras. Masyarakat bumiputera menempati posisi terbawah. Berada di atasnya bangsa Timur Asing, Belanda menempati posisi yang utama. Sedangkan kedudukan Sunda dianggap lebih rendah daripada kebudayaan Jawa karena tidak memiliki warisan karya-karya tertulis. Jika Loomba menyatakan bahwa ras terkait dengan religi, etnik, linguistik, nasional, seksual, dan kelas maka dalam kasus ini berlaku pula "rasisme" yang terkait dengan sastra (Teddi A.N. Muhtadin, Pikiran Rakyat: 2003).

"Rasisme" dalam lelucon Sunda adalah buah ekspresi masyarakat Sunda dalam menyikapi tindak sewenang-wenang bangsa penjajah. Kesewenang-wenangan bangsa penjajah (Belanda) terhadap bangsa bumiputera, orang Sunda, dikukuhkan dalam bentuk stratifikasi sosial ciptaan bangsa penjajah terhadap bangsa terjajah (Sunda).

Di antara sekian guru utama pelanggaran atas prinsip-prinsip keadilan maka Belanda dapat ditempatkan sebagai mahaguru. Puncak dari semua perilaku menyimpang Belanda terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan adalah berupa legalisasi Bangsa Indonesia sebagai bangsa kelas kambing melalui trikotomi kewarganegaraan di awal abad ke-20 yang menempatkan bangsa kelas tiga di bawah Eropa dan Timur Asing (Reiza Dienaputra, 2004).

Adanya cerita "Perang Bubat" atau "Pasunda Bubat" semakin mengukuhkan bahwa Sunda itu memang berbeda dengan Jawa. Gajah Mada, Mahapatih Majapahit dianggap biang keladi tumpasnya para pembesar Sunda dan pengiringnya di Bubat, termasuk Diah Pitaloka atau Citraresmi yang hendak dijadikan permaisuri oleh Hayam Wuruk, nyatanya oleh Gajah Mada Citraresmi datang ke Majapahit dianggap sebuah upeti saja.

Orang Sunda selalu akrab dengan cerita ini dan mereka mengenangnya dengan marah dan geram. Cerita tersebut terutama memunculkan kesadaran bahwa mereka berbeda dari orang-orang Jawa, selain memunculkan sentimen anti-Jawa. Namun kesadaran akan perbedaan itu tidak pernah menjadi kuat sebelum Belanda lebih terlibat secara langsung dengan hubungan-hubungan lokal (Moriyama, 2001: 7).

Senada dengan Moriyama, Peristiwa "Pasunda Bubat" menurut Tedi A.N. Muhtadin, menyediakan lahan yang cukup luas bagi tafsir yang rasis dikemudian hari (Pikiran Rakyat: 2003). Lahan tafsir tersebut satu diantaranya bersemayam dalam ruang lelucon.

Lalu mengapa orang Sunda sepertinya begitu benci terhadap etnis lain, terutama melalui lelucon-lelucon rasisnya? Jika bangsa Indonesia oleh Reiza dikatakan sebagai bangsa kelas tiga atau kelas kambing, orang Sunda yang berada di bawah orang Eropa, Timur Asing dan Jawa, sudah tentu derajatnya sangat rendah.

Rendahnya kedudukan orang Sunda dibandingkan bangsa lainnya memunculkan perlawanan. Perlawanan tersebut dalam wacana poskolonial disebut mimikri. Pribumi peniru. Jika bangsa penjajah melakukan perlawanan secara terang-terangan karena didukung basis material yang mumpuni. Bangsa Sunda yang notabene kaum tertindas, dorongan materi yang tidak mencukupi, akhirnya melakukan perlawanan dengan cara peniruan dan dikembangkan dalam lelucon-lelucon rasis.

Hal ini sesuai dengan yang dilontaran oleh Teddi yang mengutif pendapat Hikmat Gumelar bahwa, "rasisme" mucul bukan hanya dominasi dari etnis yang suferior, "rasisme" pun lahir dari dukungan etnis yang inferior. Jika yang pertama menggunakan konsep "rasisme" agresif karena didukung oleh basis materi yang banyak, sedangkan yang kedua memunculkan "rasisme" defensif karena dukungan materinya sangat sedikit. Maka lahirlah lelucon-lelucon berbau rasis, seperti: mirigihisi stereotif untuk orang India; waas ku munuuna atau allaan taina stereotip untuk orang Arab; cing cuang cangcang atau tung tung sing stereotip yang melekat bagi bangsa Cina.

Adanya lelucon rasis tersebut mungkin bagi "si pengisah" (orang Sunda) sah-sah saja, karena efek lucu yang diharapkannya. Tetapi di balik kelucuan tersebut disadari atau tidak bersemayam "virus rasis". Tidak menutup kemungkinan orang (bangsa) yang dijadikan objek rasis merasa sakit hati. Dan tidak mustahil mereka akan mengadakan perlawanan. Baik melalui sembunyi-sembunyi memaupun secara terbuka.***