Kamis, 22 November 2007

INFERIORITAS URANG SUNDA

Membaca Inferioritas Urang Sunda
Oleh Djasepudin

Jangan ragu berwacana, apalagi berbicara tentang Sunda. Sebab, dinamika wacana bisa dibaca awam untuk dilarapkan dalam keseharian. Keragaman wacana bisa dijadikan rujukan oleh para pemegang kebijakan. Toh, setiap insan atau golongan mempunyai masing-masing peran.
Ketakutan dicap provinsialistis merupakan pemikiran usang. Sebab, nilai nasionalisme seseorang tidak mesti berarti meninggalkan kesukuannya. Keglobalan sekalipun merindukan hal-hal kelokalan. Maka, teruslah berbicara dan berbuat untuk Sunda.
Sejarah mencatat, sebuah wacana mampu mengubah keadaan seseorang, golongan, atau masyarakat keseluruhan. Hanya karena selebaran pamflet yang ditempelkan di ruang-ruang publik, yang dikomandoi Adeng-Adjam, balar?a Sunda dan Nusantara kungsi dibuat geger oleh ulahnya.
Begitu juga wacana dalam sebuah media massa. Sanajan tidak bisa langsung dirasakan seperti kita menggigit cengek, wacana dalam media massa-besar atau kecil-bisa mengubah pandangan dan sikap pembaca, setidaknya pan-dangan pembaca pertama.
Sang "penyambung lidah rakyat" tidak tiba-tiba menjadi pemimpin besar revolusi sebelum menebar wacana dalam sejumlah tulisannya. Atau, beberapa bulan katukang wacana tentang pentingnya bahasa Sunda dalam khotbah Jumat sempat mengemuka di sebuah harian berbahasa Sunda dan Indonesia. Hasilnya, sanajan kakara sedikit saja, beberapa masjid di Tatar Sunda, setidaknya Bandung, yang sebelumnya seperti alergi pada bahasa Sunda karena takut dicap provinsialistis, kiwari telah meng-agendakan khotbah Jumat berbahasa Sunda.
Krisis kepemimpinan Sunda sejatinya bukan kabar anyar. Urang Sunda sejak dulu memang jarang terdengar menjadi imam, bahkan untuk menjadi makmum pun kerap menjadi korban. Ranah Sunda hanya dijadikan pijakan untuk mengembangkan ideologi atau kepentingan. Tempat meniti karier
Fenomena macam itu setidaknya terangkum dalam sebuah lelucon Sunda, "Mas Karno jeung Mas Karto parasea, nu jadi korbanna Mang Karna jeung Mang Karna." Saya pikir yang dimaksud Mas Karno di sini adalah Soekarno, Presiden Pertama RI. Sementara yang dimaksud Mas Karto tidak lain adalah Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, Pemimpin NII DI/TII yang kungsi menjadi Ketua Masyumi Jawa Barat. Baik Mas Karno maupun Mas Karto adalah keturunan Jawa. Keduanya mengembangkan sayap pemikirannya di tanah Sunda.
Bila Mas Karno meniti karier dan berutang besar pada Kota Bandung, Mas Karta lebih memilih Priangan timur (Garut, Tasik, Sumedang, dan Ciamis) sebagai basis perjuangannya. Lantas orang- orang Sunda macam Mang Karna dan Mang Karta tak kuasa manggut- manggut biluk menjadi pengikut, yang pada akhirnya diaduk-aduk bak adonan dodol garut.
Dengan kenyataan itu, apakah kita akan begitu saja reueus (bangga) pada kebesaran Soekarno, yang mana sikap reueus itu hanya bersandar Soekarno kungsi belajar di Tatar Sunda? Jika ya, dan hal itu setidaknya dilontarkan oleh Suwandi Sumartias (Kompas, 29 Juli 2006), mengapa Suwandi tidak reueus pula pada sosok lainnya, S M Kartosuwiryo, umpamanya. Bukankah wong Jawa yang satu ini pun banyak berkiprah di Tatar Sunda? Pergerakan S M Kartosuwiryo dan konco- konconya tentu dirojong urang Sunda.
Sikap biluk-menurut begitu saja-yang merasa cukup menjadi makmum, sejatinya mencerminkan sikap inferioritas urang Sunda. Fenomena inferior lahir karena adanya perasaan kekurang(tidak) mampuan diri. Sering juga karena seseorang memiliki rasa-rumasa atau memang betul-betul mempunyai kekurangan secara fisik maupun psikis. Penanda lain dari fenomena inferioritas adalah maksakeun maneh, bersikap kritis, sok sanajan tidak didukung basis materi yang mumpuni. Penghancuran Ki Sunda
Warisan kolonialisme bangsa Eropa itu lantas semakin dipertegas oleh kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Salah satu puncak keberingasan Orde Baru adalah penghancuran peninggalan Ki Sunda, baik fisik maupun psikis. Masih terngiang dalam ingatan kita situs Badigul di Rancamaya habis digerus, disulap menjadi lapangan golf dan perumahan mewah yang diperuntukkan bagi orang-orang elite berduit selangit. Hal ini seperti penghilangan jejak kearifan lokal lainnya, yang lagi-lagi berlindung dibalik jargon "atas nama pemba- ngunan."
Waktu itu hingga ayeuna urang Sunda kurang berbuat banyak. Karena itu, beberapa tahun kemudian peninggalan Sunda sejennya kembali digomeng-gomeng oleh orang-orang yang picik pikiran dan perasaan. Lagi-lagi urang Sunda hanya bisa humandeuar. Malahan antar- urang Sunda sendiri pun terlihat aing-aingan.
Suwandi Sumartias mengatakan, rendahnya motivasi untuk berkuasa disebabkan realitas politik yang tidak menentu alias karut-marut, tidak keruan, sehingga Ki Sunda lebih baik menarik diri kalau tidak ingin larut dalam kekacauan (Kompas, 29 Juli 2006). Kamandang macam ini semakin menegaskan bahwa urang Sunda memang bermental rendah diri, tidak pede kata para ABG.
Bagaimana tidak. Untuk menjadi pemimpin, urang Sunda mesti menunggu keadaan seaman dan senyaman mungkin, tidak sudi icikibung menunjukkan jati diri dalam keadaan harengheng. Sikap macam ini menandakan sikap pengecut dan bergantung pada kemampuan orang.
Adapun penyebab sikap inferioritas urang Sunda lainnya adalah kesalahan menafsirkan kearifan lama yang tidak relevan dan hingga kiwari terus dipraktikkan. Babasan buruk-buruk papan jati, umpamanya. Babasan buruk-buruk papan jati adalah tetap membela dulur atau baraya walaupun yang dibela nyata-nyata berbuat nista.
Untuk membangkitkan rasa pede urang Sunda, sangkan tidak selamanya memeluk teguh sikap ngelehan, minderwardeg complex, atau abdi dalem Sunda kilen. Salah satu mesti meniru filosofi ala Roby Darwis.
Di zaman keemasannya, ketika barisan penyerang Persib seperti Sutiono, Kekey Zakaria, Yusuf Bachtiar, dan Yudi Guntara kehilangan naluri golnya, dari lini tukang dengan gagah berani "Si Bima" melakukan overlapping-lari meliuk-liuk mengindari hadangan pemain lawan sambil menggiring bola maju menuju jala lawan sosoranganan- yang sebelumnya memberi aba-aba kepada rekan-rekannya dengan berteriak "halik ku aing" (minggir semua, biar olehku saja). Sontak seisi Stadion Siliwangi membahana dan mengucapkan "halik ku aing".
Filosofi halik ku aing sejatinya mencerminkan rasa percaya diri yang tinggi. Dalam menghadapi keadaan yang buntu dan gamang ia bergerak cepat dan tanggap. Setiap personel dituntut berbuat kreatif untuk melakukan hal positif. Se-panjang hayat dikandung badan, inovasi tiada henti mesti terus direproduksi.
Kecap "aing" itu sendiri sudah mencerminkan keberanian yang luar biasa, bukan abdi atau sa(ha)ya yang bermakna menghamba, yang ujung- ujungnya menunjukkan ketakberdayaan menghadapi rekan atau dunungan. Sikap halik ku aing bukan berarti goong nabeuh maneh. Sikap halik ku aing sejatinya untuk membabat babasan kumaha nu dibendo atau kumaha juragan, nyanggakeun sadaya-daya, kitu kieu abdi mah ngiringan bae.

Tidak ada komentar: